Permusuhan antara
Barcelona dan Real Madrid bermula pada masa Franco. Siapa Franco ini?
Dia adalah seorang Jenderal yang menjadi penguasa diktator di Spanyol
pada tahun 1930-an. Barcelona, sampai sekarang, adalah ibukota dari Provinsi Catalonia,
yang sebagian besar penduduknya adalah dari suku bangsa Catalan dan
Basque. Sejak dulu, orang-orang Catalonia ini menganggap diri mereka
bukan bagian dari Spanyol, dan merupakan bangsa yang berada di bawah
penjajahan Spanyol.
Franco
melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. FC Barcelona
kemudian menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar orang dapat
berkumpul dan berbicara dalam bahasa daerah mereka. Warna biru dan
merah marun Barcelona menjadi pengganti yang mudah dipahami dari warna
merah dan kuning (bendera) Catalonia.
Franco
kemudian bertindak lebih jauh. Josep Suol, Presiden Barcelona waktu
itu, dibunuh oleh pihak militer pada tahun 1936, dan sebuah bom
dijatuhkan di FC Barcelona Social Club pada tahun 1938. Di lapangan
sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika
para pemain Barcelona diinstruksikan (dibawah ancaman militer) untuk
kalah dari Real Madrid.
Franco |
Sejak saat itu FC Barcelona
menjadi semacam klub anti-franco dan menjadi simbol perlawanan Catalonia
terhadap Franco, dan secara umum, terhadap Spanyol. Ada juga klub-klub
lain di Catalonia seperti Athletic Bilbao dan Espanyol. Athletic Bilbao
sampai saat ini tetap pada idealismenya untuk hanya merekrut
pemain-pemain asli Basque, tetapi dari segi prestasi tidak sementereng
Barcelona.
Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.
Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.
Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan.
Pada
tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan Real Madrid
yang waktu itu diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai anak
emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid memang selalu memiliki
sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2
dasawarsa tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali
piala raja, dan satu kali piala Inter City Honest (yang kemudian menjadi
UEFA Cup).
Pada
tahun 1973, seorang pemain Belanda yang kelak menjadi salah satu
legenda Barcelona, Johan Cruyff, bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan
persnya ketika diperkenalkan, Cruyff menyatakan bahwa ia lebih memilih
Barcelona dibanding Real Madrid karena ia tidak akan mau bermain di
sebuah klub yang diasosiasikan dengan Franco.
Bersama kompatriotnya, Johan
Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona memenangi gelar liga spanyol
(setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar), dan dalam prosesnya tahun
itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang Madrid sendiri dengan skor
5-0 (!).
Selanjutnya, permusuhan itu
terus ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai
sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan
berjalan dengan lebih sehat. Tapi permusuhan yang sejak dulu telah
begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya selalu menjanjikan
sesuatu yang spesial.
Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.
Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.
Meski berulang setiap tahun,
akan tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan Bobby
Robson ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai
akhir 1990-an sampai mengibaratkan el classico sebagai sebuah perang,
bukan sekedar pertandingan sepak bola.
Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika
menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan serdadu
perang, bukan sebuah kesebelasan sepak bola, karena begitu besarnya
kehormatan yang dipertaruhkan.
Demikian juga
pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat sebagai pelatih
seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub: "Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi JANGAN sampai kalah dari Real Madrid...!!
Meski begitu di
dalam lapangan, peperangan ini sepanjang sejarahnya selalu berlangsung
dalam sportifitas yang tinggi, karena sportifitas pun merupakan satu
bentuk kehormatan yang harus dijaga. Ini soal nama baik.
Transfer pemain adalah salah
satu bentuk perang di luar lapangan. Dalam hal ini, perpindahan pemain
dari Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai
sebuah bentuk pengkhianatans Figo mungkin adalah salah seorang yang
paling mengerti mengenai hal ini.
Direkrut
oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu bukan
siapa-siapaa tersebut kemudian menemui masa-masa jayanya. Barcelona
memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan tim, dan bersama
Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an.
Akan tetapi, pada tahun 2001,
dunia tersentak ketika Figo menerima tawaran Real Madrid dengan
iming-iming gaji dua kali lipat dan nilai transfer yang ketika itu
menjadi rekor pembelian termahal seorang pemain sepak bola.
Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus menerima tawaran tersebut berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara pribadi tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.
Dalam duel el classico tahun berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan dilupakannya seumur hidup.
Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus menerima tawaran tersebut berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara pribadi tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.
Dalam duel el classico tahun berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan dilupakannya seumur hidup.
Seorang
pendukung Barcelona di tengah-tengah pertandingan berhasil menerobos
pagar petugas keamanan, sambil memakai bendera Barcelona sebagai jubah,
kemudian berlari ke arah Figo membawa sebuah hadiah istimewa: sebuah
kepala babi, lengkap dengan sedikit darah masih menetes dari lehernya.
Ia kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi itu ke arah
Figo. Figo sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu
berjalan menjauh. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu, karena
ia tahu kepala babi itu adalah simbol keserakahan dan pengkhianatan.
Dalam hal prestasi, Real Madrid memang masih di atas Barcelona. Jarak prestasi itu terjadi terutama pada tahun 1950-1970an, ketika Real Madrid menjadi anak emas Franco dan memiliki kekuatan finansial jauh diatas Barcelona untuk membeli bintang-bintang sepakbola dari seluruh dunia dan tradisi itu masih berlanjut hingga sekarang. (El Clasico)
0 komentar:
Posting Komentar